Jumat, 10 Desember 2010

Renungan Kuningan --- Mencapai ''Santha Jagadhita''




Delapan hari lagi, Sabtu Kliwon (18/12), umat Hindu kembali merayakan rerahinan Kuningan, setelah merayakan Galungan beberapa hari lalu. Hari-hari raya keagamaan tersebut penting dimaknai hakikatnya, tak hanya dirayakan secara rutinitas. Sebab, banyak makna penting tersirat di dalamnya yang perlu ''dibumikan'' dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana dengan Kuningan? Apa yang mesti dimaknai dari perayaan Kuningan yang sarat dengan simbol-simbol atau niyasa upakara seperti tamiang, endongan dan sebagainya?

  • UMAT Hindu hendaknya jangan berhenti pada terselenggaranya perayaan hari keagamaan, tetapi memaknainya. Sebab, ada banyak makna yang terkandung dalam perayaan keagamaan tersebut. para leluhur membuat banyak rerahinan agar umat selalu ingat kepada Sang Pencipta -- Ida Sang Hyang Widi Wasa dan mensyukuri karunia-Nya. Melalui perayaan hari raya keagamaan, umat dituntut selalu ingat menyamabraya -- meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial. Selebihnya, melalui rerahinan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan.''Guna mendapatkan sarana upakara, umat mesti menjaga kelestarian lingkungan (kebersihan lingkungan). Selain buah, bunga dan daun (sarana upakara), umat menggunakan tirta (air suci) dalam penyelenggaraan yadnya. Karena itu dalam konteks ini, ada pesan penting yang mesti diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, yakni umat mesti menjaga alam -- jangan mencemari air....,Tetapi kenyataannya, banyak sungai yang sudah tercemar. Di sinilah pentingnya kesadaran untuk memelihara alam. Jadi dalam konteks kekinian, pesan yang bisa kita petik dari perayaan hari keagamaan adalah umat mesti selalu ingat Tuhan, menjaga persatuan, peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan selalu menjaga alam lingkungan. Semua itu sesungguhnya implementasi dari konsep Tri Hita Karana.
  • Lambang Perlindungan Dalam perayaan Kuningan, simbol-simbol upakara menjadi ciri khasnya seperti tamiang dan endongan. Apa maknanya? Tamiang berasal dari kata tameng yang berarti alat penangkis senjata. Sebagai alat penangkis, tamiang memiliki lambang perlindungan. Di samping itu, tamiang juga sebagai lambang Dewata Nawa Sanga, karena menunjuk sembilan arah mata angin. Tamiang juga melambangkan perputaran roda alam -- cakraning panggilingan. Lambang itu mengingatkan manusia pada hukum alam. Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan diri dengan alam, atau tak taat dengan hukum alam, risikonya akan tergilas oleh roda alam. Melalui pelaksanaan Kuningan, umat diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan agama Hindu. Selain tamiang, dalam perayaan Kuningan juga terdapat endongan yang bermakna perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran. Ketenangan pikiran ini yang tak dapat dikalahkan oleh senjata apa pun. Ikang manah pinaka witing indra, yang artinya pikiran itu sumber dari indria. Itu berarti senjata pikiranlah yang paling ampuh dan utama dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Saat Kuningan, Batara-Batari diyakini turun dari kahyangan, dan kemudian kembali lagi ke alamnya. Karena itu umat Hindu berusaha menghaturkan upacara sepagi-paginya, pada hari raya Kuningan. Tetapi yang penting dari semua itu,umat Hindu mesti lebih menguatkan bekal (endongan) hidup yakni ilmu pengetahuan. Umat Hindu mesti unggul dari segi kualitas, sehingga memiliki posisi tawar dan menang menghadapi persaingan global. Untuk meningkatkan kualitas, pendidikan adalah bekal dan senjatanya. Karena itu yadnya dalam bidang pendidikan mesti digalakkan di kalangan umat. Bila memungkinkan, sumbangan dana pemerintah ke desa pakraman beberapa persennya dialokasikan untuk investasi di bidang pendidikan atau beasiswa. Dengan demikian, krama yang kurang mampu dari segi ekonomi memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas SDM-nya. Hal ini dinilai penting bagi Bali ke depan. ''Jika SDM Bali betul-betul berkualitas akan memiliki posisi tawar dalam kancah yang lebih luas. Jadi, simbol-simbol yang terdapat dalam Kuningan mesti dimaknai lebih luas lagi. Lewat perayaan Kuningan, diharapkan krama Bali lebih terpacu lagi untuk mencetak kaum intelektual sebanyak-banyaknya,  sehingga mampu membawa Bali lebih baik lagi dalam berbagai aspek, alamnya, budayanya, pendidikannya, ekonominya dan sebagainya,
  • Melalui perayaan Galungan-Kuningan umat diisyaratkan agar tak henti-hentinya berjuang melawan adharma guna mencapai kejayaan. Dalam konteks kekinian, umat mesti terus berjuang untuk mengentaskan kemiskinan, mengentaskan buta aksara, selain berjuang mengendalikan diri dan selalu menyucikan pikiran biar hening. Semua itu dalam rangka untuk mencapai santha jagadhita atau kerahayuan atau keharmonisan yang langgeng. Semoga! (Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan IHDN Denpasar Dr. Ketut Subagiasta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar